BANGSA POST-MATERI
Engkau sadar, kini bangsamu menampilkan ekspresi kekuasaan modern.
Engkau sadar, kini bangsamu menampilkan ekspresi kekuasaan modern.
Pilihan
menjadi sejahtera adalah dambaan semua negara. Wacana eksklusif mengenai kajian
dunia negara maju, negara berkembang, negara terbelakang maupun negara kesejahteraan
(middleway) menjadi sebuah ironi dimana semua negara berlomba-lomba menampilkan
parodi gerak kearah negara dengan pembangunan kelas atas. Praktik humanistik tidak dilihat lagi sebagai
unsur pembangunan namun berfokus pada orientasi materi sebagai wujud nyata mainstream
terbaru. Bentuk kekuasaan modern ini telah memperlihatkan kemewahan yang
mendorong politik transaksional.
Kondisi
Indonesia dewasa ini, telah memperlihatkan diri sebagai cerminan bangsa yang
terjebak dalam dunia materi. Mata hati telah disulap dengan mata uang yang
kemudian mengubah cara pandang bangsa terhadap ideologi negara dan juga
mempengaruhi people work oriented.
Pertama, manusia bekerja dikatakan sebagai hal yang dilakukan hanya untuk
memperoleh sesuap nasi dan pemenuhan kebutuhan perut. Kedua, manusia bekerja
untuk status, memenuhi status masyarakat agar tidak dikatakan sebagai
penganggur. Ketiga, manusia bekerja sebagai sebuah ibadah, dan kewajiban akan
tujuan dari cita-cita bersama. Secara empirik, fenomena kerja yang terjadi di
Indonesia dominan berada pada kualifikasi satu dan dua, sedangkan untuk
kualifikasi ketiga manusia cenderung mengabaikan sebagai sebuah kebutuhan
bersama. Apalagai dalam praktik pelaksanaan kekuasaan politik yang terfokus
pada the process of political interaction.
Fakta
sebagai negara ego materi telah memberikan rantai baru dinamika masyarakat
Indoensia. Opini wacana dengan mudah digiring mengikuti kemauan penguasa mata
uang. Tercatat hampir seluruh media swasta cetak, elektronik maupun online
dimiliki oleh elit partai bahkan ketua partai, dewan partai, dan bahkan
menteri. Sehingga wacana yang berkembang akan mengikuti kemauan dari para
konglomerasi pemilik media tanpa mempertimbangkan pentingnya muatan wacana yang
dilemparkan. Media kemudian menjelma sebagai kekuatan yang bahkan melebihi
pemerintah dalam mengubah opini publik untuk kepentingan rating. Gagasan
Giddens akan modernitas akhir hanya sebuah utopis. Civil Society kini lebih mudah dijadikan oposisi penentang
kebijakan, karena yang berkuasa ialah pemillik media, oknum tunggal sang
pemilik mata uang.
Data yang sempat dijadikan kabar gembira bagi
Indonesia dengan diprediksinya Indonesia menjadi 10 kekuatan baru dunia kedepan
dengan melihat perkembangan jumlah orang kaya di Indonesia yang bersaing dengan
negara maju sekelas Rusia di tahun 2011. Adapun orang mapan dengan penghasilan
Rp. 240-500 Juta per tahun mencapai 4 juta orang yang menempatkan Indonesia
pada peringkat ke-4 Asia. Namun lagi-lagi, elit bangsa kita terjebak pada dunia
angka-angka yang bertopang pada kekuasaan materi. Nuansa negara bukan dijadikan
sebagai aktivitas menuju kesejahteraan rakyat namun lebih terasa kearah
kumulasi kapital. Jumlah penduduk yang melimpah hanya dijadikan sebagai alat
menakut-nakuti negara lain dengan anggapan bahwa jumlah penduduk besar tentunya Indonesia
memliliki daya konsumtif tinggi yang menarik negara lain untuk menjalin mitra
dengan Indonesia.
Dimensi
kekuasaan demokrasi pun ikut tergerus kuatnya arus materi. Panggung para
sejumlah entitas demokrasi tidak lagi dijadikan sebagai media penyambung
aspirasi rakyat. Bilik suara pada pesta pemilu berubah menjadi bilik bercinta
para pemilik kepentingan yang tentunya berkantung uang. Pendidikan politik yang
seharusnya diajarkan kepada masyarakat hanya membiasakan masyarakat terjebak
dalam money politic. Otonomi daerah
sebagai wujud pencapaian democratic value
yakni terjadinya kemandirian berubah menjadi otonomi politik dimana terjadi
tarik-menarik kepentingan politik antara pusat dan daerah. Kepala Daerah
didesain sebagai perwakilan pimpinan partai dengan mengutamakan kepentingan
partai bukan sebagai perwakilan pimpinan rakyat didaerah yang mengutamakan
kepentingan rakyat. Praktik ini, yang seharusnya mendorong political will yang lebih baik yang tidak mengutamakan urusan
individu serta regulasi yang lebih matang yang berwujud keadilan sosial.
Sektor jasa
pembangunan kualitas manusia yakni pendidikan yang seharusnya menjadi penopang
karakter bangsa ikut diperjualbelikan. Anak bangsa tidak lagi tersenyum
mendengar kabar telah dibuka sekolah baru, namun berlomba ongkahkan kaki lari
meninggalkan sekolah. Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam UUD 1945
hanyalah sebuah angan karena kehidupan kecerdasan hanya mampu dinikmati oleh
mereka yang bermateri. Kurikulum tumpang tindih mengikuti kepentingan politik.
Anak didik hanya mendengarkan tanpa bisa berbicara karena pendidiknya telah
dibungkam oleh selembar kertas. Pendidikan di komersialisasikan mengikuti arus
global, tujuan Paolo Freire akan pendidikan membebaskan kini membelenggu.
Masyarakat
digiring berkonflik bak boneka mengikuti kepentingan sang majikan hanya demi
mengaburkan suatu wacana lain. Premanisme hadir sebagai suatu kebutuhan penting
elit-elit penguasa. Aparat keamanan menjadi tontonan dalam memerankan drama
pemberantasan preman demi sebuah republik rekayasa. Hak Asasi Manusia bukan
bagian dari Manusia yang perlu dipertimbangkan.
Hukum tumpul ke atas dan tajam kebawah kata seorang penyair, toh uang
akan mengikuti arah gravitasi. Materi
menjadi panglima sebagai wujud kekuasaan modern.
Terekan
pula dalam catatan, praktik mega proyek Master Plan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan investasi ratusan hingga ribuan trilliun
dengan fokus peningkatan pembangunan ekonomi. Namun praktik yang ada belum
benar-benar seluruhnya menjadikan manusia sebagai objek pembenahan tetapi hanya
berorintasi pada pembangunan fisik bukan memanusiakan manusia dalam
keberadaban. Cita-cita bangsa dalam pancasila bukanlah hal yang memandang
materi sebagai fokus utama, namun lebih memperhatikan dimensi kemanusiaan dari
rakyat. Pembangunan wilayah bukan
sekedar aspek kumulasi kapital, tapi pembentukan watak penghuninya yang sesuai
dengan karakter kemanusiaan.
Bangsa yang
ramah, serta berdabad itulah diharapkan sebagai satu idea yang sudah lama
ditunggu-tunggu. Hadirnya bangunan mewah, mal-mal, hingga perumahan elit
hanyalah sebagai simbol dan sarat akan pencitraan rekayasa namun belum tentu
memberikan kenyamana bagi semua penghuninya. Watak cerdas dan penuh etika itu seharusnya
menjadi ruh nyata arah pembangunan kedepan. Sesuai dengan salinan argument
Immanuel Kant akan dalil moral, Moralitas memiliki nilai moral sejati,
karenanya perbuatan harus dikerjakan dengan kewajiban dan kewajiban ini harus
kehendak baik dalam dirinya sendiri dengan nilainya melampaui segala hal. Toh,
nyatanya semakin banyak orang kaya tidak memberikan jaminan akan kebahagiaan,
moral tinggi dan saling toleransi antar masyarakat, tapi pembentukan mental
beradab justru akan lebih menjadikan rakyat menjadi paham akan nilai hidup
bersama dalam suatu negara. Nilai gotong-royong hanya dimaknai sebagai teori
klasik yang sudah kampungan. Seharusnya indonesia kini terpandang mewah dari
kerukunan rakyatnya bukan dari materi yang hanya dimilki oleh beberapa elit
tunggal. Bukankah ide Plato akan sebuah republik yang menggunakan kata polis
itu untuk mencapai keteraturan masyarakat. Sudah saatnya bangsa bergerak kearah
World After Material (Money).