Rabu, 19 Desember 2012

PARADIGMA PEMBANGUNAN YANG BERKEMANUSIAAN


       Dari apa yang telah dibahas terdahulu dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang ingin diwujudkan melalui proses pembangunan amat bervariasi. Orientasi pembangunan berspektrum amat luas, menjangkau berbagai nilai mulai dari mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya sebagaimana diukur dari pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan sebagainya; mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diukur melalui berbagai indikator seperti kebutuhan pokok, indikator sosial, dan sebagainya, yang kadang-kadang ingin diwujudkan tanpa terlalu memperhatikan prosesnya; mewujudkan masyarakat yang bebas dari kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran,; sampai kepada melepaskan ketergantungan pada negara0negara kapitalis.

                Pada akhir dasawarsa 1970-an mulai muncul pemikiran-pemikiran tentang pembangunan yang menekankan pada aktualisasi nilai-nilai manusiawi, meskipun apa yang dimaksud dengan nilai-nilai manusiawi tadi amat berbeda dari satu pemikir ke pemikir lainnya. Alur pikir (Humanizing Development) atau paradigma pembangunan yang berwajah manusiawi (Development with Human Face).
                Akan tetapi aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan tadi tidak selalu harus mutually exclusive  dengan nilai-nilai lain. Misra (1981, p. 2), misalnya menegaskan sebagai berikut : “ Pembangunan yang berkemanusiaan tidak berarti de-industrialisasi, tidak pula berarti penolakan terhadap teknologi modern. Hal itu tidak berarti rurakisasi masyarakat manusia, bukan pula berarti cara hidup sosio-teknologis penghuni gua-gua. Pembangunan yang berkemanusiaan bukan pembenaran zero-growth economy; bukan pula pembenaran pertumbuhan ekonomi yang amat tinggi demi pertumbuhan itu sendiri. Kesemuanya valid, selama hal itu memungkinkan manusia hidup lebih baik, selama hal itu tidak memperbudak manusia, membawa pada kekerasan, menyebabkan rakyat kehilangan keseimbangan mental dan kesehatan fisik, dan mengakibatkan ketidakseimbangan masyarakat manusia.” 
                Apa yang dimaksud Misra tadi tercermin antara lain, pada indikator “hidup baik” (good life) yang dikemukakan Mishan (1977, p. 29), yang disamping menunjuk pada indikator kesejahteraan yang konvensional seperti papan, pangan, kesehatan, juga menyebut indikator yang lebih terkait dengan nilai manusiawi seperti self-esteem, personal freedom, security, love and trust, dan sebagainya.
                Pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai manusiawi ini di dalam banyak negara dipandang sebagai suatu conditionality untuk mencapai modernisasi nasional. Negarawan Korea Selatan Park Chung Hi misalnya, ingin mewujudkan kualitas manusia di dalam proses modernisasi negaranya, antara lain kualitas : “ learning to identify one’s self in a more correct perspective, trying to solve one’s own problem with one’s own effort and confidence, trying to develop self reliance and independence, and trying to defend one’s self firmly from any deteriorating factors in the environment.”
                Di bawah ini digambarkan pokok-pokok pikiran dari cendekiawan yang dapat dikategorikan sebagai pelopor paradigma Humanizing Development.
·         Ivan Illich
Ivan Illich dengan amat kritis mongonstalasikan dampak sampingan pembangunan yang cenderung mendehumanisasikan manuisa, mendegradasikan nilai-nilai mnusiawi. Proses pembangunan telah melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, yang pada awalnya dimaksudkan menjadi “pelayan” (servant) manusia dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Hipotesis bahwa teknologi dan mesin-mesin akan dapat menggantikan fungsi budak, di dalam kenyataannya tidak terjadi. Bukti-bukti menunjukkan bahwa justru teknologi dan mesin-mesin tapi memperbudak manusia. Dan di dalam sistem politik apapun, manusia tidak dapat melepaskan diri dari dominasi “constantly expanding industrial tools”. Dengan makin meningkatnya kekuasaan mesin, makin menurunlah peranan manusia menjadi konsumen dan budak teknologi semata-mata. Fungsi mesin-mesin telah berubah dari means (alat) menjadi ends (tujuan).
Dampak dari dominasi teknologi dan mesin-mesin terhadap nilai-nilai kemanusiaan, menurut Illich memang sangat luas. Illich mengidentifikasikan 6 cara bagaimana perkembangan industri dan teknologi mengancam manusia dan nilai-nilai kemanusiaan :
1)      Pertumbuhan yang berlebih-lebihan mengancam hak manusia atas struktur fisik lingkungan hidup yang fundamental yang telah menjadi konfigurasi evolusi umat manusia. Manifestasi dari ancaman ini adalah terjadinya degradasi biologis. Penerapan teknologi yang salah akan merusak keseimbangan antara manusia dan lingkungannya.
2)      Industrialisasi mengancam hak manusia atas kerja convivial. Proses produksi yang sangat efisien di dalam industri dapat mengakibatkan monopoli radikal, yaitu suatu gejala dimana proses produksi industrialisasi tertentu menguasai secara exclusif pemuasan kebutuhan masyarakat, menyisihkan kegiatan nonindustrial dalam kompetisi.
3)      Pemprograman manusia secara berlebih-lebihan akan mematikan daya imajinasi dan kreativitas. Keseimbangan dalam proses belajar ditentukan oleh ratio antara dua jenis pengetahuan di dalam masyarakat : pertama, produk pemikiran kreatif dan tindakan kreatif manusia terhadap lingkungannya, dan kedua, produk “trivialisasi” manusia oleh mellieu manufakturnya. Pengetahuan yang pertama berasal dari keikutsertaan manusia satu sama lain dalam interaksi sosial dan dari penggunaan peralatan convivialnya, dan yang kedua terakumulasi pada manusia sebagai akibat dari pelatihan yang terprogran dan terencana secara tegar.
4)      Tingkat produktivitas baru dalam masyarakat industrial dapat membahayakan partisipasi politik. Di bawah tekanan “mega-machine”, kekuasaan akan terkonsentrasikan pada sekelompok elite dan mayoritas rakyat akan tergantung pada mereka. Klas atas akan makin makmur, sedangkan klas bawah akan makin bertambah banyak. Dalam konsentrasi kekuasaan demikian, peluang rakyat untuk berpartisipasi akan semakin kecil.
5)      Keusangan yang dipaksakan mengancam hak seseorang atas tradisi. Perubahan dalam produk dan produk-produk baru pada hakikatnya telah mengakibatkan “keusangan yang dipaksakan” karena melalui produk-produk baru tadi telah terjadi devaluasi atas produk-produk tertentu.
6)      Kepuasan yang direkayasa dan dipaksakan cenderung menimbulkan frustasi yang meluas.
Illich ingin mengakhiri dominasi teknologiatas manusia, dengan mewujudkan suatu bentuk masyarakat yang disebut “masyarakat convivial”. Dalam masyarakat tersebur akan berlangsung hubungan (intercourse) yang otonom dan kreatif antara orang yang satu dengan yang lain, dan antara manusia dengan lingkungannya. Masyarakat convivial ini merupakan lawan (kebalikan) dari “produktivitas industrial” dimana respon manusia terhadap tuntutan sesame manusia, dan terhadap lingkungannya, merupakan respon yang dipaksakan (conditioned response). Masyarakat convivial merefleksikan kebebasan individual yang diwujudkan dalam bentuk interdependensi pribadi antara sesama manusia, dan karenanya memunyai nilai etis yang intrinsik. Masyarakat convivial timbul sebagai akibat pengaturan sosial (social arrangement) yang menjamin akses yang luas dan bebas bagi setiap anggotanya, kepada alat atau teknologi yang ada di dalam masyarakat. Kebebasan ini hanya dapat dibatasi oleh sesuatu yang menjamin kebebasan yang sama bagi anggota masyarakat yang lain. Lebih dari itu, di dalam masyarakat convivial ini terdapat semacam “built-in-control” yang akan member peringatan dini apabila akan terjadi manipulasi manusia, oleh alat atau teknologi yang ada di dalam masyarakat tadi.
·       Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang pakar pendidikan Brazil, karenanya pandangannya tentang pembangunan mencerminkan visinya sebagai pendidik. Di dalam bukunya Education for Critical Consciousness, dia mengonstalasikan bahwa proses pembangunan dapat menumbuhkan sistem politik yang oppresive sebagaimana terjadi di Brazil pada zamannya. Sistem politik yang oppresif ini berkecenderungan untuk mendegradasikan hakikat manusia, mendehumanisasikan manusia.
Manusia menurut Freire, memilki sifat-sifat kemanusiaan yang sublime yang membedakannya dengan makhluk lain di planet bumi ini. Sifat-sifat tadi antara lain adalah : (i) berbeda dengan binatang, manusia memunyai kesadaran waktu yang tinggi, bahwa eksistensinya berada di dalam dimensionalitas temporal. Karenanya manusia memunyai kesadaran sejarah atau a sense of historicity yang tinggi. Mereka menyadari bahwa eksistensi mereka pada hari ini merupakan produk masa lalu, dan eksistensinya pada saat ini akan menentukan situasi di masa mendatang; hal ini berbeda dengan binatang, yang hidupnya terperangkap dalam kekinian yang abadi, the permanent today; (ii) eksistensi manusia adalah berintegrasi dengan lingkungannya, tidak hanya beradaptasi. Integrasi merupakan produk dari kapasitas beradaptasi dengan realita ditambah adanya critical capacity untuk merubah realita tadi, dan kapasitas membuat pilihan di antara berbagai alternatif realita tadi; (iii) manusia yang berintegrasi dengan lingkungannya merupakan subyek. Ini berbeda dari adaptif person yang hanya menjadi obyek. Ketidakmampuan orang untuk merubah realita menjadikan mereka menjadi adaptive person yang hanya berstatus sebagai obyek. Dengan berintegrasi dengan lingkungannya tadi manusia membentuk sejarah.
Akan tetapi sistem politik yang oppresif tadi telah mendegradasikan sifat-sifat manusia tadi, dan mendehumanisasikan manusia. Akibat dari sistem politik yang oppresif tadi terhadap manusia adalah : (i) manusia mengalami proses konversi menjadi “penonton pasif”, dikuasai oleh mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan sosial yang berkuasa; (ii) manusia mengalami keterasingan cultural karena hidup terpisah dari realita yang ada. Ini disebabkan oleh ketidakmampuannya memecahkan masalah yang dihadapinya; (iii) di sampig itu manusia juga menjadi obyek massifikasi, dimana rakyat telah dimanipulir oleh elit menjadi “unthingking manageable agglomeration”; (iv) manusia mengalami asistensialisme, selalu menggantungkan diri pada bantuan orang lain. Asistensialisme merampas manusia dari kebutuhnan fundamentalnya, yaitu kebutuhan untuk bertanggung jawab; (v) Di samping itu masyarakat yang berada dibawah system politik yang oppresi cendderung mengembangkan “budaya bisu” atau the silent culture. Masyarakt tidak berani lagi mengemukakan pendapatnya.
·      Denis Goulet
Denis Goulet dalam bukunya the Cruel Choice (1973), melihat keterbelakangan atau underdevelopment tidak semata-mata sebagai kemelaratan atau pendapatan yang rendah. Underdevelopment merupakan bentuk dehumanisasi. Karenya untuk dapat menghayati underdevelopment orang harus memahami alam pikiran (state of mind) keterbelakangan tadi.
          “ Keterbelakangan adalah sesuatu yang sangat memilukan, kekumuhan, penyakit, kematian yang tidak perlu, dan keputus asaan. Seseorang tidak akan pernah mengerti keterbelakangan, apabila keterbelkangan dipandang sebagai statistic yang mencerminkan pendapatan yang rendah, perumahan yang buruk, kematian yang dini, dan pengangguran. Pengamat keterbelakangan yang empatetik hanya dapat berbicara tentang keterbelakangan tersebut setelah ia secara prbadi mengalami “ goncangan keterbelakangan”. Perasaan keterbelakangan yang menonjol adalah perasaan ketidakmampuan emosional dalam menghadapi penyakit, kematian dan ketidakpuasanpada waktu menggapai untuk memahami perubahan, perbudakan oleh manusia yang keputusannya memntukan jalannya peristiwa dan keputusasaan menghadapi kelaparan dan bencana.

0 komentar:

Posting Komentar