Kepemimpinan Strategis
Penelitian oleh Centre for Creative Leadership (2004) menunjukkan kepemimpinan strategis adalah tentang kemampuan seorang pemimpin mengubah orang melalui visi dan nilainilai, budaya dan iklim kerja, serta struktur dan sistem. Kepemimpinan strategis lebih jauh berarti kemampuan yang dimiliki pemimpin untuk mengelola, mengkoordinasikan, memengaruhi serta memotivasi dan meningkatkan kinerja orang-orang yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan organisasi.
Hughes dan Beatty (2005) menulis dalam buku mereka “Becoming a Strategic Leader” bahwa fokus dari kepemimpinan strategis adalah “sustainable competitive advantages” yaitu mendorong dan menggerakkan segenap kemampuan karyawan sehingga akan berkembang. Lebih lanjut bahwa kepemimpinan strategis adalah kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki seseorang atau kelompok yang bertanggungjawab dan memiliki pengaruh penting untuk menjamin organisasi itu tetap bertahan hidup.
Karakteristik kepemimpinan strategis adalah
1. visioner, misioner dan strategis yakni memiliki, memahami dan mengkomunikasikan visi dan misi, mampu merumuskan dan merealisasikan strategi serta memiliki pengetahuan, terampil dan berwawasan luas,
2. berorientasi pada perubahan menunjukkan bahwa pemimpin menyukai dan selalu terlibat dalam perubahan, memiliki tujuan dan arah yang jelas, future-oriented dan suka menetapkan prioritas,
3. mampu membangun relasi yang kuat tergambar dari selalu bertindak bijaksana, melibatkan bawahan dalam mengembangkan ide, memberi kesempatan kepada bawahan untuk membuat keputusan, selalu menyelesaikan tanggungjawab dengan segera dan memiliki jejaring sosial luas dengan berbagai pihak,
4. memiliki personal style dan personal skills seperti proaktif, pengendalian emosi, bersemangat, peduli terhadap bawahan, bekerja melampaui uang dan kekuasaan serta berani mengambil resiko.
Budaya organisasi
Pengertian Budaya
Sweeney & McFarlin (2002: 334) mengemukakan bahwa budaya secara ideal mengkomunikasikan secara jelas pesan-pesan tentang bagaimana kita melakukan sesuatu atau bentindak berperilaku di sekitar sini (“how we do things around here”)
Dari pemikiran tersebut dapatlah diinterpretasikan bahwa budaya memberikan arahan mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku, bersikap, bertindak dalam suatu komunitas, kata ‘here’ dalam pengertian di atas mengacu kepada suatu komunitas tertentu, baik itu berbentuk organisasi, perusahaan, atau masyarakat.
Pengertian Organisasi
Organisasi menurut Robbins (2001:4) diartikan sebagai suatu unit (satuan) sosial yang dikoordinasikan dengan sadar, yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang berfungsi atas dasar yang relative terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama.
Konsep Budaya Organisasi
Menurut Osborne & Plastrik (2000), budaya organisasi adalah seperangkat perilaku, perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi.
Definisi lain dikemukakan Robbins (2002: 247), bahwa budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi; suatu sistem dari makna bersama
Robbins (2003), Budaya organisasi adalah system makna yang dianut bersama oleh anggota-anggota yang membedakan antar organisasi lainnya. Demikian juga Robbins menjelaskan bahwa mengukur budaya organisasi dapat memahami tentang bagaimana karyawan memandang organisasi, mendorong kerja tim, meghargai inovasi dan meningkatkan prakarsa.
Hofstede (2010) mendefinisikan budaya organisasi sebagai susunan pemikiran bersama yang membedakan anggota-anggota sebuah organisasi dengan yang lain. Sementara itu, pendapat Carwright yang dikutip Wibowo (2013) memahami budaya sebagai penentu yang kuat dari keyakinan, sikap dan perilaku orang dan pengaruhnya dapat diukur melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespons lingkungan budaya mereka.
Seorang ahli perilaku organisasi Eliott Jacquest menyebutkan bahwa perilaku organisasi adalah: “the customary or traditional ways of thinking and doing things, which are shared to a greater or lesser extent by all members of the organization and which new numbers must learn and least partially accept in order to be accept into the sevice of the firm” artinya budaya organisasi adalah cara berfikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi, yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi dan para anggota baru harus mempelajari atau palling sedikit menerimanya sebagian agar mereka diterima sebagai bagian dariorganisasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah merupakan perwakilan dari norma-norma perilaku yang harus diikuti oleh anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hirarkhi organisasi. Bagi organisasi yang masih didominasi oleh pendiri, maka budaya organisasi akan menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan-harapan pendiri kepada anggota organisasi yang lain, sedangkan bagi organisasi yang dikelola oleh seorang manajer atau pimpinan yang bersifat otokratis yang menerapkan gaya kepemimpinan “top down”, maka budaya organisasi juga akan berperan untuk mengkomunikasikan harapan-harapn mereka.
Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu (Koesmono, 2005).
Pentingnya kajian terhadap budaya organisasi ini juga secara pragmatis dapat dilihat dari peranannya. Veithzal R. (2003: 430) mengemukakan bahwa budaya organisasi berperan dalam:
- Menetapkan tapal batas, dalam arti menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi denganorganisasi lainnya.
- Memberikan ciri identitas bagi anggota organisasi.
- Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingan individu.
- Meningkatkan kemantapan sistem sosial.
- Memandu dan membentuk sikap anggota organisasi (budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali).
Dalam konteks di atas maka budaya organisasi merupakan kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku dan pembuatan keputusan anggota organisasi serta mengarahkan tindakan mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Terbentuknya Budaya Organisasi
Terbentuknya budaya organisasi sebagaimana dideskripsikan dalam gambar di atas, menurut Robbins (2002: 262), berawal dari filsafat pendiri organisasi (mereka mempunyai visi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu), budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, yang kemudian berpengaruh terhadap criteria yang digunakan dalam mempekerjakan anggota/karyawannya. Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar dalam pembentukan budaya organisasi (melalui apa yang mereka katakan dan lakukan) dan seringkali menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Bagaimana anggota/karyawan harus disosialisasikan akan tergantung, baik pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokan nilai-nilai anggota/karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi.
Menurut Daft (2002:63), terdapat tiga tingkatan budaya, yaitu :
1. Artifak (artifact),
adalah budaya organisasi tingkatan pertama, yaitu hal-hal yang dilihat, didengar dan dirasa ketika seseorang berhubungan dengan suatu kelompok baru. Artifak bersifat kasat mata (visible), misalnya lingkungan fisik organisasi, cara berperilaku, cara berpakaian, dan lain-lain. Karena antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya artifaknya berbeda-beda, maka anggota baru dalam suatu organisasi perlu belajar dan memberikan perhatian terhadap budaya organisasi tersebut.
2. Nilai (espoused values),
merupakan alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung caranya melakukan sesuatu. Ini adalah budaya organisasi tingkat kedua yang mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Pada tingkat ini, baik organisasi maupun anggota organisasi memerlukan tuntunan strategi, tujuan dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, untuk memahami expoused values ini, seringkali dilakukan wawancara dengan anggota kunci organisasi misalnya, atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen.
3. Asumsi dasar (basic assumption)
merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Asumsi ini merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula dari nilai-nilai yang didukung karena merupakan keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi seperti kepercayaan, persepsi, ataupun perasaan yang menjadi sumber nilai dan tindakan. Budaya organisasi tingkat ketiga ini menetapkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dalam sebuah organisasi, yang seringkali dilakukan lewat asumsi yang tidak diucapkan.
Kepemimpinan Strategis dan Budaya Organisasi
Para ahli berpendapat bahwa definisi budaya organisasi memiliki tiga hal yang merupakan ciri khas dari budaya organisasi tersebut, antara lain: 1) dipelajari, 2) dimiliki bersama, dan 3) diwariskan dari generasi ke generasi. Factor yang paling penting bagi organisasi adalah bagaimana seorang pemimpin, ketua ataupun manajer sebuah organisasi dapat menciptakan dan memelihara suatu budaya organisasi yang kuat dan jelas.
Grimes (1978), menyatakan bahwa pemimpin berperan dalam meningkatkan kemampuan, komitmen, keterampilan, pemahaman nilai-nilai pada organisasi serta kerjasama tim untuk meraih prestasi dalam organisasi. Dalam studi yang dihasilkan bahwa semakin baik kepemimpinan akan memperkuat budaya organisasi yang akhirnya berdampak pada peningkatan kinerja karyawan (Tsang, 2007, Xenikou & Simosi, 2006, Lok & Crawford, 2003)
Kepemimpinan dengan budaya organisasi saling terkait, jika pemimpin hidup dalam berbagai budaya, maka dia merupakan instrument dalam mengelola dan mengembangkan budaya, oleh karena itu salah satu kewajiban pemimpin adalah memahami apa yang dihadapi dan apa yang dikerjakan jika mencoba mengelola budaya. Sebaliknya kewajiban bagi pemimpin adalah menciptkan budaya (Schein, 1991).
Seorang pemimpin strategis dalam membangun budaya organisasi yang dipimpinnya harus berperan menjadi sosok dari budaya yang akan dibangunnya, pemimpin harus mampu membantu bawahan untuk menciptakan rasa memiliki jati diri bagi para pekerjanya, seorang pemimpin harus mampu mengembangkan keikatan pribadi antara karyawan dengan institusi dimana mereka bekerja, rasa memiliki merupakan modal dasar bagi seorang pemimpin dalam mendorong
karyawan untuk mencapai misi dan tujuan dari organisasi, tanpa adanya ikatan pribadi (rasa memiliki) karyawan terhadap organisasi, seorang pemimpin akan kesulitan untuk menterjemahkan visi, misi dan tujuannya dalam memimpin organisasi. Pemimpin juga harus dapat membatu menciptakan stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial, dimana orang-orang yang ada didalam organisasi merupakan satu kesatuan sosial yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Seorang pemimpin juga harus mampu menjadi pedoman perilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.
karyawan untuk mencapai misi dan tujuan dari organisasi, tanpa adanya ikatan pribadi (rasa memiliki) karyawan terhadap organisasi, seorang pemimpin akan kesulitan untuk menterjemahkan visi, misi dan tujuannya dalam memimpin organisasi. Pemimpin juga harus dapat membatu menciptakan stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial, dimana orang-orang yang ada didalam organisasi merupakan satu kesatuan sosial yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Seorang pemimpin juga harus mampu menjadi pedoman perilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.
Pada Intinya peran Kepemimpinan strategis dalam Budaya Organisasi yakni adalah bagaimana seorang pemimpin mampu mengarahakan dan membawa anggota organisasi memahami kondisi lingkungan strategisnya sebagai bagian dalam mencapai tujuan organisasi.
Contoh Organisasi dengan penerapan Budaya Organisasi
Budaya Organisasi kerja Jepang
Kaizen berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan semua anggota dalam hirarkhi perusahaan, baik manajemen maupun karyawan. Inti dari Kaizen adalah kesadaran bahwa manajemen harus memuaskan pelanggan dan memenuhi kebutuhan pelanggan, jika perusahaan ingin tetap eksis, memperoleh laba, dan berkembang. Adapun tujuannya adalah untuk menyempurnakan mutu, proses, sistem, biaya, dan penjadwalan demi kepuasan pelanggan.
Perubahan budaya Organisasi Garuda Indonesia
Kultur internal Garuda Indonesia yang dulu merasa "penumpang yang butuh Garuda Indonesia" diubah menjadi customer-centric. Budaya custumer-centric ini menempatkan pelanggan sebagai fokus perhatian. Oleh karena itu, Perusahaan menyusun perencanaan layanan secara menyeluruh demi memastikan bahwa seluruh aspek layanan telah ditangani dengan baik. Garuda Indonesia aktif melaksanakan berbagai program guna meningkatkan kepuasan pelanggan, dimulai dari pengembangan visi yang berfokus pada pelanggan, mendorong inovasi untuk menghasilkan high value added product sehingga merintis budaya service excellence, serta perampingan proses bisnis untuk mempercepat pelayanan.
BUDAYA ORGANISASI BNI
4 NILAI BUDAYA KERJA BNIBNI | 6 NILAI PERILAKU UTAMA INSAN BNI |
Profesionalisme (Professionalism) |
|
Integritas (Integrity) |
|
Orientasi Pelanggan (Customer Orientation ) |
|
Perbaikan Tiada Henti (Continuous Improvement) |
|
0 komentar:
Posting Komentar