Mahasiswa sangat diandalkan sebagai garda terdepan pembela kepentingan
rakyat, itu karena kekuatan mereka adalah pada nuraninya. Kelebihan lain
yang dimiliki oleh mahasiswa adalah kekritisan dan daya nalar serta
kepekaannya. Mahasiswa dianggap harus selalu menggunakan akal sehat
ketika memperjuangkan kepentingan rakyat.
Salah satu sarana perjuangan mahasiswa adalah aksi demonstrasi. Aksi
terkini menyikapi polemik kenaikan harga BBM dianggap telah nodai
perjuangan. Hal ini dinilai dari pendekatan-pendekatan "kekerasan" yang
diperlihatkan mahasiswa dalam aksinya. Yang diwartakan secara
besar-besaran oleh media. Mari melihatnya sebisa mungkin dari posisi
netral. Dan menyodorkan pertanyaan mengapa mahasiswa menempuh pendekatan
kekerasan dalam aksinya?
Dalam hal substansinya, aksi demonstrasi (ex: aksi protes) sebenarnya
sudah ada sejak dulu ketika masa kerajaan masih subur di Indonesia. Di
Keraton, rakyat jika sedang tidak senang dengan rajanya akan berjemur
diri tanpa baju di pendopo kerajaan. Berdiam diri tanpa sepatah
katapun. Raja yang peka, akan segera menangkap maksud rakyatya tersebut.
Bahwa ada yang tak beres dalam wilayah kerajaannya. Namun Sang Raja
tidak akan mengusirnya. Raja akan segera mengumpulkan para
hulubalangnya. Untuk segera menyikapi pesan rakyatnya tersebut.Tak
peduli hulubalangnya sedang melakukan apa. Aksi Si Rakyat pun direspon
secara bijak dan tepat oleh Sang Raja. Dengan sendirinya si rakyat
pulang ke tempat tinggalnya.
Dalam masa orde baru, aksi penyikapan dalam bentuk apapun akan dianggap
aksi protes dan perlawanan pada pemerintah. Segera disikapi pemerintah
dengan todongan senjata dan ancaman melalui agen-agen intelijen. Hingga
fenomena keterpenjaraan aspirasi tersebut diruntuhkan oleh gerakan
perlawanan jalanan yang dibangun begitu massif dan efektif (aksi 98).
Sistem pun merajut alam demokrasi. Memberikan ruang penyampaian aspirasi
seluas-luasnya kepada segenap elemen masyarakat. Penyebaran selebaran,
Diskusi publik, mimbar bebas, hingga aksi unjuk rasa di jalanan, semua
terakomodir. Mengerucut pada aksi-aksi unjuk rasa jalanan dalam alam
demokrasi terkini Indonesia, seberapa cepat respon Sang Raja (Presiden)
dan para hulubalangnya (menteri, dkk) menyikapi? respon tercepat yang
didapatkn adalah pesan: "Silahkan aksi.Wajar saja. Asal lakukan dengan
damai, tertib, tidak merugikan, patuhi aturan yngg berlaku, (de el el)"
Wajar. Ya...Wajar aksi jalanan tumbuh menjamur dimana-mana karena memang
banyak hal yng "wajar" untuk dikritisi terhadap pemerintah. Sayangnya,
respon yang benar terhadap substansi "pesan" yang disampaikan para
demonstran sangat sulit didapatkan. Sehingga demonstran terkadang
"genit" dalam aksinya. Sulit sekali mendpt respon yang sesuai, sekalipun
aksi telah dilakukan dengan aksi unik atau mungkin dengan jumlah massa
yang begitu besar. Sungguh malang nasib demokrasi Indonesia. Mari tengok
negara Eropa, 1-2 orang saja berdiri aksi memajang kardus berisi
tulisan tuntutan atau seruan atau ajakan di tepi jalan, Anda akan segera
direspon besar. Iklim respon yang terbangun di Indonesia begitu
berbeda. Pemerintah senantiasa menunggu gejolak besar (bahkan korban)
untuk menyikapi pesan rakyat.
Inilah yang direspon balik oleh para demonstran. Dengan aksi unik, massa
besar, tak jg direspon, maka menimbulkan gejolak pun ditempuh (dengan
hati sedih). Gayung bersambut, media sebagai sarana informasi tercepat
dan efektif pun justru memburu aksi dengan kategori demikian (unik,
massa, chaos). Yang kita sayangkan, apa yang dibesarkan oleh media
hanyalah kemasan aksinya saja, jarang menyentuh jauh substansi pesan
yang hendak disampaikan
Aksi damai, tak dibesarkan media, tak direspon pemerintah.
Aksi unik, tak dibesarkan media, tak direspon pemerintah.
Orasi jalanan, dianggap angin lalu.
Kesabaran hilang, emosi telah tak tertahankan, pengendalian lapangan
longgar > gejolak pun timbul. Bukan untuk numpang keren di media.
Tapi gejolak agar diperhatikan oleh pemerintah. Begitu sulitnya
pemerintah memberikan perhatian, demonstran pun bergejolak. Gejolak
yang juga menimbulkan kerugian. Semuanya agar diperhatikan pemerintah.
Bukan untuk numpang keren di media.
Terhadap ini, saya harus akui secara jujur belum bisa benar-benar
berposisi netral. Saya adalah mahasiswa. Mahasiswa aktivis. Penggerak
demo. Saya dan mahasiswa (aktivis) lainnya, bukan anggota DPR/D. Bukan
Gubernur/Bupati/Walikota. Bukan Menteri Negara. Kami setia pada
konsekuensi logis status mahasiswa. Setia pada konsekuensi Akademis,
Organisatoris, dan Sosial Politik. Semua itu bisa dibina dan
dioptimalkan dengan terus bergerak.
Pergerakan tidak selalu menjanjikan perubahan, tapi tak ada perubahan
tanpa diawali pergerakan. Dengan bergerak, ada proses menuju perubahan.
Selasa, 05 Juni 2012
MENILAI ALAT PERJUANGAN MAHASISWA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar