Rabu, 19 Desember 2012

EKONOMI POLITIK



1).   UUD RI 1945 pasal 33 menyatakan bahwa : ”Barang-barang  yang penting bagi Negara dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “

Pertanyaan :
Menurut pendapat dan pengamatan anda apakah pasal 33 UUD 1945 ini telah dilaksanakan atau diimplementasikan dengan baik dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat? Jelaskan pendapat dan pengamatan anda dengan mengemukakan contoh !

JAWABAN :
Menurut pendapat saya, UUD RI Pasal 33 ayat 3  disalah tafsirkan oleh para pejabat pemerintahan dimana yang sebenarnya adalah cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara dan yang menguasai hidup orang banyak seolah-olah diabaikan sehingga dalam implementasinya salah. Kesalahan dari implementasi Pasal 33 ayat 3 ini mengakibatkan negara dalam penguasaan pihak asing yang bukan bagian dari negara. Akibatnya ialah banyak kemudian warga negara Indonesia yang tidak merasakan kekayaan alam Indonesia itu sendiri dan justru dikuasai oleh orang asing. Kemiskinan, Pengangguran, bahkan kelaparan seakan menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia sedangkan di lain sisi ada sebagian pihak yang mendapatkan keuntungan lebih daripada masyarakat Indonesia sendiri. Kondisi merajalelanya perusahaan asing menguasai lahan-lahan di Indonesia sengaja diciptakan oleh bangsa kita sendiri lantaran para pengelola negeri ini telah terjangkit mental korup, mental suap. Kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing diakibatkan oleh lemahnya hukum, karena nyatanya undang-undang atau perangkat peraturan lainnya dapat dibuat sesuai pesanan pihak asing. Pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man semakin membuka mata kita sekaligus membuktikan bahwa pihak asing ternyata ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah kita. menjelaskan bahwa dirinya berperan sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di Indonesia untuk menjadikan ekonomi Indonesia tergantung dan dikuasai asing, dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Bahkan dijelaskan ada konspirasi yang melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita percayai untuk membantu kita keluar dari krisis ekonomi.
Pasal 33 UUD 1945 menjamin kepentingan rakyat dengan menciptakan kemakmuran dan kepastian penghidupan yang layak dan tidak menciptakan penindasan dan penghisapan (exploitation d’lomme parlon). Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan untuk mengimplementasikan hal tersebut, diperlukan ekonomi berencana (planned economy) atau perencanaan terpusat. Keperluan hidup yang vital, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan mendapat prioritas utama dalam perencanaan perekonomian nasional. Rakyat juga harus mendapat air, listrik, gas, dan BBM yang cukup dan murah karena barang-barang tersebut penting bagi rakyat. Perusahaan transportasi juga harus berfokus pada pelayanan keperluan masyarakat, tidak profit oriented.
Kerja sama ekonomi seharusnya dilakukan dengan cara bagi hasil (production sharing) antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Koperasi, Swasta Nasional dan Asing. Proyek-proyek didanai dari kredit luar negeri, sedangkan pembayarannya dilakukan dengan sebagian hasil dari proyek tersebut. Kepemilikan dan pimpinan harus tetap ada di tangan pihak Indonesia. Barang impor seharusnya hanya menjadi pelengkap produksi domestik. Walaupun demikian, ekspor dan impor harus berada pada hubungan yang seimbang, artinya ekspor diperlukan untuk membayar impor. Seperti telah dikemukakan di atas, pasal 33 UUD 1945 belum mampu diimplementasikan. Bahkan, dapat dikatakan baru sebatas normatif. Banyak cabang produksi yang vital dikelola oleh swasta atau investor asing. Freeport, ExxonMobil, Newmont adalah contohnya.
Dalam berbagai segi, pengelolaan ekonomi kita sekarang ini cenderung liberal. Bahkan, Indonesia dianggap sebagai negara paling liberal di antara negara-negara liberal. Hal yang ironis, di satu sisi kita tetap mempertahankan pasal 33 UUD 1945, namun di sisi lain, produk hukum di bawahnya justru menyimpang.
Salah satu contoh dimana kekayaan negara sudah mulai dominan dikuasai asing bukan oleh negara sendiri, sesuai amanat konstitusi :
1.    Masalah Listrik di Indoensia
Pada tahun 2010 diprediksikan akan terjadi kekacauan yaitu berupa krisis listrik yang terjadi di Jawa dan Bali. Hal ini dimungkinkan karena ketidakbecusan Pemerintah dalam menata pembangunan khususnya dalam bidang ketenagalistikan. Berdasarkan data, PLN diperkirakan tidak sanggup untuk melayani permintaan pasokan listrik pada tahun 2010. Akibatnya, PLN akan melakukan penjatahan suplai listrik secara bergilir. Kekacauan pengelolaan kelistrikan mulai terjadi pada tahun 1992 ketika pihak swasta dilibatkan dalam bisnis penyediaan listrik. Keppres No. 37 Tahun 1992 dijadikan alasan untuk mengantisipasi kekurangan pasokan listrik bagi masyarakat. Namun, hal ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk keuntungan pribadi, dengan mark up setinggi-tingginya nilai proyek tersebut. Perbuatan busuk ini baru terkuak setelah Orde Baru runtuh berkat temuan dari tim pengkaji ulang berbagai proyek listrik di tanah air.
Setelah Keppres No. 37 Tahun 1992, PLN bekerja sama dengan pihak swasta lewat PPA (Power Purchase Agreement) yang mengharuskan PLN membeli 100 % listrik yang dijual swasta. Harga jual listrik swasta jauh lebih mahal dari yang dijual PLN ke masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian bagi negara. Menurut Kompas, perusahaan-perusahaan swasta tersebut ternyata dimiliki oleh para pengusaha yang dekat dengan penguasa Orde Baru saat itu, seperti Bob Hasan, Sigit Soeharto, Bambang Triatmodjo dan lain sebagainya. Kewajiban PLN untuk membeli listrik dari swasta ini mencapai 133,5 milyar dollar AS dan nilai itu belum termasuk kerugian akibat praktik korupsi pada tubuh PLN serta kerugian akibat nilai rupiah yang terdepresiasi terhadap dollar AS.
Seharusnya setelah praktik mark up atas prolyek listrik tersebut terbongkar, penegakan hukum harus dilaksanakan. Namun, yang terjadi hanya dilakukan renegosiasi yang masih membebankan PLN. Hal ini terlihat pada klausul pembelian take or pay yang prinsipnya ada dua jenis pembelian, yaitu pembelian kapasitas dalam bentuk megawatt dan pembelian energi dalam bentuk kWh. Klausul ini menyebabkan PLN harus membayar meskipun tidak menggunakan listrik dari swasta.
Kekacauan ini terus diperparah dengan terbitnya UU No. 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan, yang tujuannya agar listrik bisa lebih cepat menjangkau wilayah Indonesia. Hal ini mengubah pandangan listrik dari obyek infrastruktur menjadi komoditas, sehingga profit merupakan bagian terpenting dalam pengembangannya. Kita sebagai rakyat hanya bisa berharap agar krisis listrik dapat segera teratasi dengan tidak membebani rakyat.
2.    Masalah Pertambangan dan Perminyakan
Pertambangan dan perminyakan Indonesia merupakan bidang yang paling digarap oleh asing dengan 85,4 % dari 137 konsensi pengelolaan lapangan migas. Menurut data BP Migas, hanya 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola ladang migas di Indonesia. Bahkan ada kemungkinan bahwa dengan berbagai kepemilikan saham, pihak asing menguasai 100 % ladang migas di Indonesia. Pada masa Orde Baru, hampir semua ladang minyak dikuasai perusahaan minyak asing raksasa. Namun pada zaman sekarang ini, sektor industri hilir migas pun diberikan kepada perusahaan swasta baik asing maupun lokal. Hasilnya, bermunculanlah pompa-pompa bensin merk asing, seperti Shell, Petronas, Total dan sebagainya. Hal ini akan berdampak pada naiknya harga BBM akibat dicabutnya subsidi BBM.
Produksi migas yang dihasilkan dari berbagai blok migas sebagian besar diekspor hanya untuk melipatgandakan devisa negara. Dan hal ini menyebabkan krisis energi yang merugikan rakyat. Di sisi lain, telah banyak kerugian yang terjadi akibat menyerahkan pengelolaan pertambangan dan migas ke pihak asing seperti penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport. Pertaminapun tidak dipercaya untuk mengelola blok-blok migas seperti di Cepu. Nasib serupa juga dialami dalam bidang batubara, yang pengelolaanya masih didominasi oleh pihak swasta seperti Bumi Resources Tbk. Salah satu alasan mengapa pihak asing yang banyak menguasai penambangan dan perminyakan di Indonesia adalah dikarenakan teknologinya yang mahal. Hal ini menjadi kurang relevan jika dibandingkan dengan masa pengelolaan oleh pihak asing.
Sungguh Memprihatinkan negara kita melihat berbagai kasus yang ada, sekarang kita terjajah oleh ulah pemimpin kita sendiri yang sampai saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan ini.

“PERNAHAKAH KITA BERFIKIR BAHWA
KITA HANYA MENJADI TAMU DI RUMAH KITA SENDIRI”


2). Pasal 33 di atas, antara lain diimplementasikan melalui Undang-undang No.1 Tahun 1967 Tentang penanaman modal asing. Pasal 6 ayat 1 dalam Undang-undang ini menyatakan bahwa “bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut : Pelabuhan-pelabuhan; produksi, distribusi dan transmisi tenaga listrik umum; Telekomunikasi pelayaran; Penerbangan; Air minum; Kereta Api umum; Pembangkitan tenaga atom; mass media.”
Pertanyaan :
Bandingkan UU No. 1 Tahun 1967 ini dengan Undang-undang No. 6  Tahun 1968 dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007. Jelaskan Perbedaan di antara ketiga kebijakan pemerintah ini dan kemukakan kritik anda sesuai dengan prinsip-prinsip political economy.
JAWABAN :
            Pada UUD No 1 Tahun 1967  Pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas, dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing dalam tiap-tiap usaha tersebut.
Perjanjian menurut urutan prioritas ditetapkan tiap kali pada waktu Pemerintah menyusun rencana-rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, dengan memperhatikan perkembangan ekonomi serta technologi.
Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:
a. pelabuhan-pelabuhan;produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkitan tenaga atom; mess media. Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, antara lain produksi sendjata, mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Pemerintah sepenuhnya memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengelolah cabang-cabang tersebut untuk pencapaian kemakmuran rakyat.

            Pada UUD No 6 Tahun 1968 pemerintah menjelaskan bahwa Semua bidang usaha pada azasnya terbuka bagi swasta Kegiatan Negara yang bersangkutan dengan pembinaan bidang usaha swasta meliputi pula bidang-bidang yang perlu dipelopori atau dirintis oleh Pemerintah.
Bidang usaha Negara meliputi terutama bidang-bidang yang perusahaannya wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.
Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalamnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.Perusahaan asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Jika usaha yang dimaksudkan berbentuk perseroan terbatas masa sekurangkurangnya persentase dari jumlah saham harus atas nama.

            Pada UUD No 25 Tahun 2007 pemerintah menjelaskan bahwa Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bidang-bidang Produksi dan Usaha Milik Negara, hal ini dapat terlihat dalam pasal 3 ayat (1) tentang “asas perlakuan yang sama dan tidakmembedakan asal negara” adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara lainnya.”
Kritik terhadap Ketiga UUD yakni semua UUD membuka peluang bagi Investor Asing untuk membuka usaha tanpa memperdulikan sector-sektor penting dalam negara. Pengusaha dalam negeri diberikan hal yang sama dengan pengusaha asing seolah-olah pengusaha dalam negeri tidak dalam negaranya sendiri. Dalam pandang politik Ekonomi bahwa aliran sosialis yang termaktub dalam Pasal 33 1945 tidak lagi jalankan namun berubah arah secara perlahan ke system kapitalis dengan mekanisme pasar bebas sebagai pintu masuk dalam ekonomi.

0 komentar:

Posting Komentar