1).
UUD RI 1945 pasal 33 menyatakan bahwa :
”Barang-barang yang penting bagi Negara
dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “
Pertanyaan :
Menurut pendapat dan pengamatan anda
apakah pasal 33 UUD 1945 ini telah dilaksanakan atau diimplementasikan dengan
baik dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat? Jelaskan pendapat dan
pengamatan anda dengan mengemukakan contoh !
JAWABAN :
Menurut pendapat saya, UUD RI
Pasal 33 ayat 3 disalah tafsirkan oleh
para pejabat pemerintahan dimana yang sebenarnya adalah cabang-cabang produksi
yang penting dikuasai oleh negara dan yang menguasai hidup orang banyak
seolah-olah diabaikan sehingga dalam implementasinya salah. Kesalahan dari
implementasi Pasal 33 ayat 3 ini mengakibatkan negara dalam penguasaan pihak
asing yang bukan bagian dari negara. Akibatnya ialah banyak kemudian warga
negara Indonesia yang tidak merasakan kekayaan alam Indonesia itu sendiri dan
justru dikuasai oleh orang asing. Kemiskinan, Pengangguran, bahkan kelaparan
seakan menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia sedangkan di lain sisi ada
sebagian pihak yang mendapatkan keuntungan lebih daripada masyarakat Indonesia
sendiri. Kondisi merajalelanya perusahaan asing menguasai lahan-lahan di
Indonesia sengaja diciptakan oleh bangsa kita sendiri lantaran para pengelola
negeri ini telah terjangkit mental korup, mental suap. Kondisi ketidakmampuan
terhadap pihak asing diakibatkan oleh lemahnya hukum, karena nyatanya
undang-undang atau perangkat peraturan lainnya dapat dibuat sesuai pesanan
pihak asing. Pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an
Economic Hit Man semakin membuka mata kita sekaligus membuktikan bahwa
pihak asing ternyata ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah kita. menjelaskan
bahwa dirinya berperan sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di
Indonesia untuk menjadikan ekonomi Indonesia tergantung dan dikuasai asing,
dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Bahkan dijelaskan ada konspirasi
yang melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita percayai
untuk membantu kita keluar dari krisis ekonomi.
Pasal 33 UUD 1945 menjamin
kepentingan rakyat dengan menciptakan kemakmuran dan kepastian penghidupan yang
layak dan tidak menciptakan penindasan dan penghisapan (exploitation
d’lomme parlon). Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan untuk
mengimplementasikan hal tersebut, diperlukan ekonomi berencana (planned
economy) atau perencanaan terpusat. Keperluan hidup yang vital, seperti
sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan mendapat prioritas utama
dalam perencanaan perekonomian nasional. Rakyat juga harus mendapat air,
listrik, gas, dan BBM yang cukup dan murah karena barang-barang tersebut
penting bagi rakyat. Perusahaan transportasi juga harus berfokus pada pelayanan
keperluan masyarakat, tidak profit oriented.
Kerja sama ekonomi seharusnya
dilakukan dengan cara bagi hasil (production sharing) antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Koperasi, Swasta Nasional dan Asing.
Proyek-proyek didanai dari kredit luar negeri, sedangkan pembayarannya
dilakukan dengan sebagian hasil dari proyek tersebut. Kepemilikan dan pimpinan
harus tetap ada di tangan pihak Indonesia. Barang impor seharusnya hanya
menjadi pelengkap produksi domestik. Walaupun demikian, ekspor dan impor harus
berada pada hubungan yang seimbang, artinya ekspor diperlukan untuk membayar
impor. Seperti telah dikemukakan di atas, pasal 33 UUD 1945 belum mampu
diimplementasikan. Bahkan, dapat dikatakan baru sebatas normatif. Banyak cabang
produksi yang vital dikelola oleh swasta atau investor asing. Freeport, ExxonMobil,
Newmont adalah contohnya.
Dalam berbagai segi, pengelolaan
ekonomi kita sekarang ini cenderung liberal. Bahkan, Indonesia dianggap sebagai
negara paling liberal di antara negara-negara liberal. Hal yang ironis, di satu
sisi kita tetap mempertahankan pasal 33 UUD 1945, namun di sisi lain, produk
hukum di bawahnya justru menyimpang.
Salah satu contoh dimana kekayaan
negara sudah mulai dominan dikuasai asing bukan oleh negara sendiri, sesuai
amanat konstitusi :
1. Masalah
Listrik di Indoensia
Pada tahun
2010 diprediksikan akan terjadi kekacauan yaitu berupa krisis listrik yang
terjadi di Jawa dan Bali. Hal ini dimungkinkan karena ketidakbecusan Pemerintah
dalam menata pembangunan khususnya dalam bidang ketenagalistikan. Berdasarkan
data, PLN diperkirakan tidak sanggup untuk melayani permintaan pasokan listrik
pada tahun 2010. Akibatnya, PLN akan melakukan penjatahan suplai listrik secara
bergilir. Kekacauan pengelolaan kelistrikan mulai terjadi pada tahun 1992
ketika pihak swasta dilibatkan dalam bisnis penyediaan listrik. Keppres No. 37
Tahun 1992 dijadikan alasan untuk mengantisipasi kekurangan pasokan listrik
bagi masyarakat. Namun, hal ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk
keuntungan pribadi, dengan mark up setinggi-tingginya nilai proyek tersebut.
Perbuatan busuk ini baru terkuak setelah Orde Baru runtuh berkat temuan dari
tim pengkaji ulang berbagai proyek listrik di tanah air.
Setelah
Keppres No. 37 Tahun 1992, PLN bekerja sama dengan pihak swasta lewat PPA
(Power Purchase Agreement) yang mengharuskan PLN membeli 100 % listrik yang
dijual swasta. Harga jual listrik swasta jauh lebih mahal dari yang dijual PLN
ke masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian bagi negara. Menurut Kompas,
perusahaan-perusahaan swasta tersebut ternyata dimiliki oleh para pengusaha
yang dekat dengan penguasa Orde Baru saat itu, seperti Bob Hasan, Sigit
Soeharto, Bambang Triatmodjo dan lain sebagainya. Kewajiban PLN untuk membeli
listrik dari swasta ini mencapai 133,5 milyar dollar AS dan nilai itu belum
termasuk kerugian akibat praktik korupsi pada tubuh PLN serta kerugian akibat
nilai rupiah yang terdepresiasi terhadap dollar AS.
Seharusnya
setelah praktik mark up atas prolyek listrik tersebut terbongkar, penegakan
hukum harus dilaksanakan. Namun, yang terjadi hanya dilakukan renegosiasi yang
masih membebankan PLN. Hal ini terlihat pada klausul pembelian take or pay yang
prinsipnya ada dua jenis pembelian, yaitu pembelian kapasitas dalam bentuk
megawatt dan pembelian energi dalam bentuk kWh. Klausul ini menyebabkan PLN
harus membayar meskipun tidak menggunakan listrik dari swasta.
Kekacauan
ini terus diperparah dengan terbitnya UU No. 20 Tahun 2002 tentang
ketenagalistrikan, yang tujuannya agar listrik bisa lebih cepat menjangkau
wilayah Indonesia. Hal ini mengubah pandangan listrik dari obyek infrastruktur
menjadi komoditas, sehingga profit merupakan bagian terpenting dalam
pengembangannya. Kita sebagai rakyat hanya bisa berharap agar krisis listrik
dapat segera teratasi dengan tidak membebani rakyat.
2.
Masalah Pertambangan dan Perminyakan
Pertambangan
dan perminyakan Indonesia merupakan bidang yang paling digarap oleh asing
dengan 85,4 % dari 137 konsensi pengelolaan lapangan migas. Menurut data BP
Migas, hanya 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola ladang migas
di Indonesia. Bahkan ada kemungkinan bahwa dengan berbagai kepemilikan saham,
pihak asing menguasai 100 % ladang migas di Indonesia. Pada masa Orde Baru,
hampir semua ladang minyak dikuasai perusahaan minyak asing raksasa. Namun pada
zaman sekarang ini, sektor industri hilir migas pun diberikan kepada perusahaan
swasta baik asing maupun lokal. Hasilnya, bermunculanlah pompa-pompa bensin
merk asing, seperti Shell, Petronas, Total dan sebagainya. Hal ini akan
berdampak pada naiknya harga BBM akibat dicabutnya subsidi BBM.
Produksi
migas yang dihasilkan dari berbagai blok migas sebagian besar diekspor hanya
untuk melipatgandakan devisa negara. Dan hal ini menyebabkan krisis energi yang
merugikan rakyat. Di sisi lain, telah banyak kerugian yang terjadi akibat
menyerahkan pengelolaan pertambangan dan migas ke pihak asing seperti
penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport. Pertaminapun tidak dipercaya
untuk mengelola blok-blok migas seperti di Cepu. Nasib serupa juga dialami
dalam bidang batubara, yang pengelolaanya masih didominasi oleh pihak swasta
seperti Bumi Resources Tbk. Salah satu alasan mengapa pihak asing yang banyak
menguasai penambangan dan perminyakan di Indonesia adalah dikarenakan
teknologinya yang mahal. Hal ini menjadi kurang relevan jika dibandingkan
dengan masa pengelolaan oleh pihak asing.
Sungguh Memprihatinkan negara kita
melihat berbagai kasus yang ada, sekarang kita terjajah oleh ulah pemimpin kita
sendiri yang sampai saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan ini.
“PERNAHAKAH KITA BERFIKIR BAHWA
KITA HANYA MENJADI TAMU DI RUMAH
KITA SENDIRI”
2).
Pasal 33 di atas, antara lain diimplementasikan melalui Undang-undang No.1
Tahun 1967 Tentang penanaman modal asing. Pasal 6 ayat 1 dalam Undang-undang
ini menyatakan bahwa “bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal
asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi Negara dan
menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut : Pelabuhan-pelabuhan;
produksi, distribusi dan transmisi tenaga listrik umum; Telekomunikasi
pelayaran; Penerbangan; Air minum; Kereta Api umum; Pembangkitan tenaga atom;
mass media.”
Pertanyaan :
Bandingkan UU No. 1 Tahun 1967 ini
dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1968
dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007. Jelaskan Perbedaan di antara ketiga
kebijakan pemerintah ini dan kemukakan kritik anda sesuai dengan prinsip-prinsip
political economy.
JAWABAN :
Pada UUD No 1 Tahun 1967 Pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang
usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas, dan menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing dalam tiap-tiap
usaha tersebut.
Perjanjian menurut
urutan prioritas ditetapkan tiap kali pada waktu Pemerintah menyusun
rencana-rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, dengan
memperhatikan perkembangan ekonomi serta technologi.
Bidang-bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah
bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak
sebagai berikut:
a.
pelabuhan-pelabuhan;produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk
umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkitan
tenaga atom; mess media. Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam
pertahanan Negara, antara lain produksi sendjata, mesiu, alat-alat peledak dan
peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Pemerintah
sepenuhnya memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengelolah cabang-cabang
tersebut untuk pencapaian kemakmuran rakyat.
Pada UUD No 6 Tahun 1968 pemerintah
menjelaskan bahwa Semua bidang usaha pada azasnya terbuka bagi swasta Kegiatan
Negara yang bersangkutan dengan pembinaan bidang usaha swasta meliputi pula
bidang-bidang yang perlu dipelopori atau dirintis oleh Pemerintah.
Bidang usaha
Negara meliputi terutama bidang-bidang yang perusahaannya wajib dilaksanakan
oleh Pemerintah.
Perusahaan
nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam
negeri yang
ditanam didalamnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase
itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi
tidak kurang dari 75%.Perusahaan asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi
ketentuan diatas. Jika usaha yang dimaksudkan berbentuk perseroan terbatas masa
sekurangkurangnya persentase dari jumlah saham harus atas nama.
Pada UUD No 25 Tahun 2007 pemerintah
menjelaskan bahwa Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk
badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha
perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penanaman modal
asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan
di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
Penanam modal
dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas
dilakukan dengan:
a. mengambil
bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. membeli
saham; dan
c. melakukan
cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bidang-bidang Produksi
dan Usaha Milik Negara, hal ini dapat terlihat dalam pasal 3 ayat (1) tentang “asas perlakuan yang sama dan tidakmembedakan
asal negara” adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri
dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan
penanam modal dari negara lainnya.”
Kritik terhadap Ketiga
UUD yakni semua UUD membuka peluang bagi Investor Asing untuk membuka usaha
tanpa memperdulikan sector-sektor penting dalam negara. Pengusaha dalam negeri
diberikan hal yang sama dengan pengusaha asing seolah-olah pengusaha dalam
negeri tidak dalam negaranya sendiri. Dalam pandang politik Ekonomi bahwa
aliran sosialis yang termaktub dalam Pasal 33 1945 tidak lagi jalankan namun
berubah arah secara perlahan ke system kapitalis dengan mekanisme pasar bebas
sebagai pintu masuk dalam ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar