Jumat, 28 Februari 2014

GENERASI MALL VS GENERASI GADGET (Penulis ; Fahri Ardiansyah)

Cita-cita akan kehidupan masa depan selalu menggambarkan wujud yang ideal, penciptaan masyarakat yang sejahtera, kehidupan yang adil dan makmur, serta tingkat pendidikan yang lebih maju. Namun gagasan akan masa depan ini harus tertantang dengan perkembangan global yang menuntut setiap orang untuk eksis di bidang apapun. Gambaran lain tentang masa depan yang diberikan oleh futuris Alvin Toffler adalah abad ke-21 mendatang  akan diwarnai dengan abad informasi. Ramalam Alvin Toffler ini seakan memperoleh pembenaran dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, seperti teknologi internet, system cetak jarak jauh, dsb. Sedangkan Nostradamus dan John Naisbit meramalkan, bahwa dalam melinium ketiga ini Asia akan menjadi pusat perhatian dunia, selain Amerika dan kesadaran diri orang Asia sangatlah pragmatis, bahkan cenderung melulu ekonomi.
Pada masa sekarang ini pun ramalan itupun sedikit-demi sedikit mulai menujukkan fenomenanya. Individu pada era modern cenderung menuntut lebih bebas, otonom, ingin serba cepat, serba ada, dan serba nyaman. Di lain pihak kemajuan teknologi yang makin canggih, seakan berusaha menjawab seluruh tuntutan hidup manusia. Semakin jelas gambaran akan masa depan dimana generasi muda sebagai pemiliknya. Maka dari itu yang dibutuhkan sekarang bukan cara untuk menghindarinya namun bagaimana menemukan strategi untuk menghadapinya ditengah-tengah konflik yang kian padat.

Terbitlah Generasi Mall
Salah satu fenomena remaja yang khas dan menonjol sejak pertengahan dekade 1990-an adalah lahirnya generasi mall, yaitu kecenderungan remaja menghabiskan waktunya untuk kongkow-kongkow di mall-mall sambil mejeng, ngrumpi, dan berfantasi tentang kehidupan yang serba enak dan nyaman, atau makan makanan cepat saji. Apalagi waktu produktif yang disediakan dimanfaatkan untuk sekedar berfantasi ria dengkan kehidupan yang sama sekali tidak prodektif. Wabah ini bukan hanya tertularkan pada pelajar tingkat menengah namun sampai pada level pelajar tertinggi. Akibatnya konsumsi pelajar kita lebih banyak kepada wacana style dibandingkan ilmu pengetahuan yang kemudian berkamuflase sebagai budaya baru hingga akhir decade abad 20-an.
Seakan sudah menjadi fenomena biasa tampilan ala model seksi papan atas yang masuk pada setiap dimensi sosial masyarakat yang turut mewarnai pudarnya moralitas bangsa. Hal ini pula yang kemudian membawa kecemasan akan mudahnya tidak eksploitasi keremajaan yang semakin tahun semakin meningkat.  Meskipun fenomena keremajaan seperti itu sekarang semakin kompleks karena mendapat stimulus dari media massa cetak dan elektronik yang cukup besar, tetap saja itu bukan fenomena baru dan khas. Remaja merokok, berkelahi, dan teler itu semua merupakan fenomena lama, hanya saja perkembangan yang ada sekarang semakin mempermudah akses remaja untuk memperoleh barang-barang tersebut dan ditunjang dengan pemberitaan media massa yang makin gencar, sehingga seolah-olah merupakan fenomena baru.
Generasi Gadget sebagai ikon baru
Fenomena akhir abad ke-20 ditandai dengan tambahan variasi trend dengan munculnya generasi gadget / phone). Gambaran khas dari generasi ini ialah pola konsumerisme yang tinggi akan kebutuhan gadget. Topic yang sering diperbincangkan oleh kalangan pelajar bukan lagi tentang arah pengembagan keilmuannya tetapi merujuk kepada info gadget terbaru. Untuk area Universitas, budaya diskusi keilmuan yang dulunya menjadi ciri khas semakin tergeser dan sekarang di anggap asing. Mereka yang sekarang membicarakan topic keilmuaan dianggap sebagai orang yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan dianggap terlalu primitive/kampungan. Pertanyaannya kemudian mengapa standar primitive seseorang diukur dengan penampakan materi yang mewah yang dia sendiri hanya tahu menggunakannya namun belum tahu cara membuatnya. Ini efek globalisasi dimana pasar dunia mulai menyerbu Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar.
Dampak terbesar dari kehadiran generasi mall dan generasi telpun gadget/handphone ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di kalangan remaja yang sekaligus melahirkan gaya hidup baru yang disebut sebagai budaya mall, yaitu suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall: pakaian serba ketat, seksi, mahal-mahal, trendy, suka makan makanan cepat saji, suka yang serba instan, dan mengembangkan bahasa gaul yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Eksisnya budaya mall dan gadget ini menunjukkan bahwa dunia kapitalis semakin kokoh, yang membawa kita menilai sesuatu bukan lagi pada segi fungsionalnya namun terlebih kepada bentuk pencitraan semata dengan mengedepankan simbolik (mahal atau tidaknya)Apalagi aksesoris yang identik dengan kemoderenan yang lebih mengedepankan simbol daripada konsistensi fungsionalnya. Tidak mengherankan apabila aksesoris kemoderenan ini tidak otomatis memperlihatkan konsistennya, seorang penguna jam tangan modern dengan harga selangit namun sering terlambat /tidak tepat waktu. Jadi di sini ada jarak dalam mempersepsi produk-produk tersebut antara si perancangnya dengan si konsumen yang masih remaja. Si perancang mendesign barang-barang tersebut untuk membantu terciptanya efisiensi waktu, tapi oleh konsumen dipersepsi sebagai simbol kemodernan.
Berkembangnya generasi mall ini seakan-akan memunculkan eksklusivisme terhadap kaum-kaum remaja. Meraka yang tidak tergabung pada generasi mall dan gadget (entah tidak suka atau tidak mampu menjangkau) merasa terpinggirkan karena kurang paham akan topic pembicaraan maupun idiom gaul yang bisa dipakai.
Munculnya rasa minder diantara sebagain remaja karena kesalahan persepsi akan dunia kemoderenan. Bahwa remaja yang modern adalah remaja yang masuk ke dalam generasi mall n gagdet, yang disimbolkan dengan pakaian ketat, seksi, mahal, punya hand phone, dan memiliki bahasa gaul tersendiri. Remaja yang lugu, sederhana, tidak berpakaian seksi, tidak memiliki hand phone, dsb., meskipun pintar, kreatif, rajin, dan kritis tidak dianggap modern. Jadi kemodernan bukan dimengerti pada tataran pola pikir dan tingkah laku, tapi pada simbol-simbol materialistik. Sangat miris ketika mengikuti trend pemikiran seperti ini. 
Yang senyatanya bahwa orang modern adalah orang yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi akan dunia pengetahuan, teknologi dan fenomena sosial. Yang bukan hanya tahu membeli dan memakai tetapi terlebih kepada pemaknaan fungsional bukan simbolik. Harusnya pelajar sekarang tahu bagaimana memanfaatkan pemikirannya untuk meningkatkan kualitas SDM masing-masing dan bersaing menjadi yang ter-modern. Bukan malah menciptakan kelas sosial baru yang mulai ikut bersaing dengan teori kelas marx.
 Siapa yang cerdas dia yang modern. Oleh sebab itu yang terpenting adalah mencoba memberikan sumbangan semampunya, dari pada tidak sama sekali, seperti dinasehatkan oleh almarhum Bung Kano:

Yang terpenting bagi seseorang
adalah terus dan selalu
mengerjakan
sebaik mungkin segala sesuatu
yang ia anggap benar

Apa dan bagaimanapun hasil akhir 
dari pekerjaan itu, .....

Serahkanlah pada Tuhan!

Mungkin tercapai 100%,
Mungkin setengah tercapai,
Mungkin pula tidak tercapai
Sama sekali menurut
keinginanmu........
Itu tidak penting!

Engkau harus yakin
telah mengerjakan
Dengan sebaik-baiknya

Dengan demikian
engkau tidak menyesal
Dan percayalah, ...........
Bahwa keputusan Tuhan adalah 
terbaik untukmu




 



 





0 komentar:

Posting Komentar