Cita-cita akan kehidupan masa depan selalu menggambarkan wujud yang
ideal, penciptaan masyarakat yang sejahtera, kehidupan yang adil dan makmur,
serta tingkat pendidikan yang lebih maju. Namun gagasan akan masa depan ini
harus tertantang dengan perkembangan global yang menuntut setiap orang untuk
eksis di bidang apapun. Gambaran lain
tentang masa depan yang diberikan oleh futuris Alvin Toffler adalah abad ke-21
mendatang akan diwarnai dengan abad
informasi. Ramalam Alvin Toffler ini seakan memperoleh pembenaran dengan
perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, seperti
teknologi internet, system cetak jarak jauh, dsb. Sedangkan Nostradamus dan John Naisbit meramalkan, bahwa dalam
melinium ketiga ini Asia akan menjadi pusat perhatian dunia, selain Amerika dan
kesadaran diri orang Asia sangatlah pragmatis, bahkan cenderung melulu ekonomi.
Pada masa sekarang ini pun ramalan itupun sedikit-demi sedikit mulai menujukkan fenomenanya. Individu pada era modern cenderung menuntut lebih bebas, otonom, ingin serba cepat, serba ada, dan serba nyaman. Di lain pihak kemajuan teknologi yang makin canggih, seakan berusaha menjawab seluruh tuntutan hidup manusia. Semakin jelas gambaran akan masa depan dimana generasi muda sebagai pemiliknya. Maka dari itu yang dibutuhkan sekarang bukan cara untuk menghindarinya namun bagaimana menemukan strategi untuk menghadapinya ditengah-tengah konflik yang kian padat.
Pada masa sekarang ini pun ramalan itupun sedikit-demi sedikit mulai menujukkan fenomenanya. Individu pada era modern cenderung menuntut lebih bebas, otonom, ingin serba cepat, serba ada, dan serba nyaman. Di lain pihak kemajuan teknologi yang makin canggih, seakan berusaha menjawab seluruh tuntutan hidup manusia. Semakin jelas gambaran akan masa depan dimana generasi muda sebagai pemiliknya. Maka dari itu yang dibutuhkan sekarang bukan cara untuk menghindarinya namun bagaimana menemukan strategi untuk menghadapinya ditengah-tengah konflik yang kian padat.
Terbitlah Generasi
Mall
Salah satu fenomena remaja yang khas dan menonjol sejak
pertengahan dekade 1990-an adalah lahirnya generasi mall, yaitu kecenderungan
remaja menghabiskan waktunya untuk kongkow-kongkow di mall-mall sambil
mejeng, ngrumpi, dan berfantasi tentang kehidupan yang serba enak dan nyaman,
atau makan makanan cepat saji. Apalagi
waktu produktif yang disediakan dimanfaatkan untuk sekedar berfantasi ria
dengkan kehidupan yang sama sekali tidak prodektif. Wabah ini bukan hanya
tertularkan pada pelajar tingkat menengah namun sampai pada level pelajar
tertinggi. Akibatnya konsumsi pelajar kita lebih banyak kepada wacana style
dibandingkan ilmu pengetahuan yang kemudian berkamuflase sebagai budaya baru
hingga akhir decade abad 20-an.
Seakan
sudah menjadi fenomena biasa tampilan ala model seksi papan atas yang masuk
pada setiap dimensi sosial masyarakat yang turut mewarnai pudarnya moralitas
bangsa. Hal ini pula yang kemudian membawa kecemasan akan mudahnya tidak
eksploitasi keremajaan yang semakin tahun semakin meningkat. Meskipun fenomena keremajaan seperti
itu sekarang semakin kompleks karena mendapat stimulus dari media massa cetak
dan elektronik yang cukup besar, tetap saja itu bukan fenomena baru dan khas.
Remaja merokok, berkelahi, dan teler itu semua merupakan fenomena lama, hanya
saja perkembangan yang ada sekarang semakin mempermudah akses remaja untuk
memperoleh barang-barang tersebut dan ditunjang dengan pemberitaan media massa
yang makin gencar, sehingga seolah-olah merupakan fenomena baru.
Generasi Gadget sebagai
ikon baru
Fenomena akhir abad ke-20 ditandai dengan tambahan variasi trend
dengan munculnya generasi gadget / phone). Gambaran khas dari generasi ini ialah pola konsumerisme yang tinggi
akan kebutuhan gadget. Topic yang sering diperbincangkan oleh kalangan pelajar
bukan lagi tentang arah pengembagan keilmuannya tetapi merujuk kepada info
gadget terbaru. Untuk area Universitas, budaya diskusi keilmuan yang dulunya
menjadi ciri khas semakin tergeser dan sekarang di anggap asing. Mereka yang
sekarang membicarakan topic keilmuaan dianggap sebagai orang yang tidak
mengikuti perkembangan zaman dan dianggap terlalu primitive/kampungan.
Pertanyaannya kemudian mengapa standar primitive seseorang diukur dengan penampakan
materi yang mewah yang dia sendiri hanya tahu menggunakannya namun belum tahu
cara membuatnya. Ini efek globalisasi dimana pasar dunia mulai menyerbu
Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar.
Dampak terbesar dari kehadiran generasi mall dan
generasi telpun gadget/handphone ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di
kalangan remaja yang sekaligus melahirkan gaya hidup baru yang disebut sebagai budaya mall,
yaitu suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall: pakaian serba ketat,
seksi, mahal-mahal, trendy, suka makan makanan cepat saji, suka yang serba
instan, dan mengembangkan bahasa gaul yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok
mereka sendiri. Eksisnya budaya mall dan gadget ini
menunjukkan bahwa dunia kapitalis semakin kokoh, yang membawa kita menilai
sesuatu bukan lagi pada segi fungsionalnya namun terlebih kepada bentuk
pencitraan semata dengan mengedepankan simbolik (mahal atau tidaknya). Apalagi aksesoris yang identik dengan kemoderenan yang lebih
mengedepankan simbol daripada konsistensi fungsionalnya. Tidak mengherankan
apabila aksesoris kemoderenan ini tidak otomatis memperlihatkan konsistennya,
seorang penguna jam tangan modern dengan harga selangit namun sering terlambat
/tidak tepat waktu. Jadi di sini ada
jarak dalam mempersepsi produk-produk tersebut antara si perancangnya dengan si
konsumen yang masih remaja. Si perancang mendesign barang-barang tersebut untuk
membantu terciptanya efisiensi waktu, tapi oleh konsumen dipersepsi sebagai
simbol kemodernan.
Berkembangnya generasi mall ini seakan-akan memunculkan
eksklusivisme terhadap kaum-kaum remaja. Meraka yang tidak tergabung pada
generasi mall dan gadget (entah tidak suka atau tidak mampu menjangkau) merasa
terpinggirkan karena kurang paham akan topic pembicaraan maupun idiom gaul yang
bisa dipakai.
Munculnya rasa minder diantara sebagain remaja karena kesalahan
persepsi akan dunia kemoderenan. Bahwa remaja yang modern adalah remaja yang masuk ke dalam generasi mall n gagdet, yang
disimbolkan dengan pakaian ketat, seksi, mahal, punya hand phone, dan
memiliki bahasa gaul tersendiri. Remaja yang lugu, sederhana, tidak berpakaian
seksi, tidak memiliki hand phone, dsb., meskipun pintar, kreatif, rajin, dan
kritis tidak dianggap modern. Jadi kemodernan bukan dimengerti pada tataran
pola pikir dan tingkah laku, tapi pada simbol-simbol materialistik. Sangat miris ketika mengikuti trend pemikiran seperti ini.
Yang senyatanya bahwa orang modern adalah orang yang memiliki
tingkat kepekaan yang tinggi akan dunia pengetahuan, teknologi dan fenomena
sosial. Yang bukan hanya tahu membeli dan memakai tetapi terlebih kepada
pemaknaan fungsional bukan simbolik. Harusnya pelajar sekarang tahu bagaimana
memanfaatkan pemikirannya untuk meningkatkan kualitas SDM masing-masing dan
bersaing menjadi yang ter-modern. Bukan malah menciptakan kelas sosial baru
yang mulai ikut bersaing dengan teori kelas marx.
Siapa yang cerdas dia yang modern.
Oleh sebab itu yang terpenting adalah mencoba memberikan sumbangan semampunya,
dari pada tidak sama sekali, seperti dinasehatkan oleh almarhum Bung Kano:
|
|
|
0 komentar:
Posting Komentar